Begini Cerita Tari Mistis Singosari yang Berasal dari Topeng Panji

Topeng bukan mengungkapkan apa yang tersembunyi, tapi menarik manusia ke dalam yang tersembunyi. Bukan memaparkan rahasia, tapi mengajak manusia masuk ke dalam rahasia. Topeng justru menyembunyikan yang tersembunyi dan merahasiakan yang rahasia.

Kalau kita mau jujur dan tidak boleh tidak jujur. Bahwa Kabupaten Malang tak bisa diingkari pernah menjadi salah satu mata air kebudayaan yang menghidupi dan menginspirasi. Salah satunya dalam seni pertunjukan topeng yang telah ada sejak masa Mataram Kuna (mPu Sindok Abad ke-X).

Menurut penelitian para ahli, seni Topeng Panji

Di Malang muncul sejak masa Majapahit (abad XIII), dan mengalami kehidupan yang subur sejak Abad XVI, yang ditandai berkembangnya dua corak atau genre besar kesenian ini: genre Malang Barat (Desa Jambuer dan Kedung Monggo) dan genre Malang Timur ( Desa Tumpang dan Jabung ).

Semua itu secara tak langsung menguatkan pendapat bahwa wilayah Malang memiliki peran penting di masa lalu. Secara kesejarahan, Malang dan daerah-daerah sekitarnya di Jawa Timur adalah pusat kebudayaan yang amat dinamis dan masyhur; semenjak Mataram Kuna di abad X, Singosari, Kadiri, dan dipuncaki oleh Kerajaan Majapahit di abad XIII.

Hal itu ditegaskan Bupati Malang Rendra Kresna saat ditemui terkait rencana pagelaran seminar dan peluncuran buku Panji serta pagelaran tari topeng Panji International yang akan digeber pada Rabu 17 September 2014 di Pendapa Agung Kabupaten Malang.

“Semoga serangkaian acara dengan tema “Topeng Panji” yang diadakan di Kota Solo dan Kabupaten Malang ini akan memberikan pemaknaan lebih positif terhadap peradaban Nusantara di masa lalu, dan Indonesia di masa depan. Kami atas nama Pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Malang menghaturkan banyak terima kasih kepada semua yang terlibat,” katanya.

Dari Foklor ke Spiritual

Sementara Ardus M. Sawega Kurator pada Balai Soedjatmoko Solo, menyebut, tahun ini seolah-olah menjadi “Tahun Panji”, karena pelbagai isu yang menyangkut Panji seperti terangkat dan teraktualisasi secara hampir bersamaan di sejumlah daerah – Malang (Jawa Timur), Jakarta, Jogyakarta, Solo, bahkan Bangkok (Thailand) – dalam ekspresi dan kegiatan yang masing-masing berbeda. Festival, seminar, diskusi, pameran topeng Panji, penerbitan buku, sampai gagasan membuat pusat pencinta Panji.

Koinsidensi ini patut menimbulkan tanda tanya: ada apa dengan Panji? Seberapa istimewa Panji? Kalau mengingat, (Cerita) Panji adalah wacana kebudayaan yang bisa dianggap sudah terlalu “lapuk” untuk dibicarakan. (Cerita) Panji, sejak pertama muncul setidaknya pada masa Kerajaan Majapahit (abad XIII) hingga sekarang, sudah terbilang delapan abad silam. “Inilah istimewanya Panji,” dia berusaha menjelaskan.

Editor dari beberapa buku ini lebih jauh menjelaskan, buah dari kebudayaan lama itu rupanya termasuk yang tak lekang oleh zaman. Panji bukan cuma meninggalkan artefak berupa candi dengan relief-relief yang indah dan menakjubkan, atau properti-properti yang berhubungan dengan seni pertunjukan seperti wayang beber, topeng, wayang gedhog, wayang krucil, atau pun sendratari seperti wayang topeng Panji – sebagian di antaranya masih lestari hingga kini – hingga folklor seperti Timun Emas, Ande-ande Lumut, Jaka Bluwa dan masih banyak lagi yang semula hanya sebagai dongeng pengantar tidur dan mengendap dalam memori anak-anak di setiap zaman.

Sejumlah ahli menyebutkan, dipandang dari perspektif sejarah, Cerita Panji adalah suatu metafora atas peristiwa politik yang betul-betul terjadi pada masa pemerintahan Airlangga, yakni terpecahnya Kerajaan Kadiri menjadi Jenggala dan Daha (Kediri), imbuhnya.

Tetapi, lebih dari itu, Panji nampaknya menjadi sarana bagi bangsa Jawa pada masa itu untuk membuat refleksi sekaligus media aktualisasi atas berbagai fenomena dan menciptakan modus-modus dalam menghadapi persoalan kehidupan yang kompleks. Di sini, dalam kaitan dengan fenomena Panji, terbukti kebudayaan mendapat pemaknaan yang luar biasa kaya. ” Ia salah satunya mengatasi fenomena politik kebangsaan-kenegaraan. Salah satu buktinya, Panji Inu Kertapati hidup “mengelana” ke seluruh daerah di Nusantara; bahkan ke negeri-negeri jauh seperti Semenanjung Melayu (Malaysia), Filipina, Thailand, Kamboja, Myanmar”, katanya.

Kisah Menarik Lainnya: Batu Kelamin, Tempat Wisata Menggelitik di Raja Ampat

Tak syak bila Kadiri, Majapahit atau Jawa, di “masa kejayaan Panji” dahulu, bisa disebut sebagai “mercusuar kebudayan” yang gilang gemilang di wilayah regional. Bukan tidak mungkin dari budaya Panji yang meluas dan menghunjam dalam memiliki peran kuat yang menginspirasi terbangunnya peradaban Jawa (Nusantara) di masa lalu. Bukan hanya pada bidang seni budaya seperti kesusastraan, seni rupa, seni pertunjukan, adat istiadat, tradisi, etika; tetapi juga bidang-bidang lain seperti filsafat, ilmu pengetahuan, astronomi, pertanian, arsitektur, dan sebagainya.

Di tempat terpisah Romo Sindunata ketika dimintai komentarnya mengatakan, jejak dan mutiara peradaban Jawa masa lalu itu, percayalah, tersimpan di dalam Panji. “Tinggal kemauan, komitmen dan kearifan generasi-generasi sekarang untuk menggalinya kembali. Panji niscaya bukan sebatas folklor atau cerita rakyat yang mengembangkan imajinasi dengan indah dan romantis”, jelasnya.

Hal itu dibuktikan dengan penemuan di balik artefak-artefak candi, kita dibawa masuk oleh Panji ke dalam pemahaman atau konsepsi tentang spiritualisme yang agung. “Sungguh suatu penemuan yang mengejutkan, dan membawa kita kepada apresiasi yang lebih terhadap kebudayaan Panji dari sebatas seperti yang selama ini dimengerti,” imbuhnya. Kemudian Sindunata mengutip : Dan topeng sesungguhnya hanyalah selubung bagi Roh Mukdas/selubung yang menyembunyikan Tuhan/Tuhan sendiri menyembunyikan pribadi-Nya/bersembunyi tanpa alasan yang bisa kita ketahui.

Sedangkan Dwi Cahyono Sejarawan Universitas Malang, lebih memilih filosofis dari pagelaran topeng Panji. ” Istimewanya Topeng Panji, sebagai kesenian yang hingga kini masih populer di beberapa daerah, Serat Centhini (Paku Buwono IV, 1814) menggambarkan tentang makna filosofisnya”, pungkasnya. (hanan jalil)