Ahmad Basarah: Seluruh Fraksi dan DPD Sepakat GBHN Perlu Dihadirkan Kembali 

JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengatakan, pers adalah kekuatan ke-10 setelah sembilan partai politik yang ada di Gedung Parlemen.

“Teman-teman pers ini, bagi saya teman-teman sama dengan kekuatan fraksi ke -10. Setelah sembilan partai politik dan 10 DPD RI, fraksi berikutnya adalah Fraksi Pressroom DPR RI,” ujar Ahmad yang biasa disapa Pak AB, Jumat 6 Desember 2019 saat menjadi Panelis dalam Diskusi Parlemen dengan Tema ‘Pelaksanaan Rekomendasi MPR 2014-2019’ di Media Center Parlemen, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Basarah bersama panelis lainnya, yaitu Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Demokrat Syarifuddin Hasan dan Wakil Ketua DPD RI, Nono Sampono. Moderator saat itu Romdony Setiawan dari wartawan Rakyat Merdeka.

Ahmad Basarah menjelaskan, jumlah pimpinan periode MPR 2019-2004 adalah yang terbanyak sepanjang sejarah terbentuknya MPR RI. Terbanyak kedua pada periode Amien Rais, yakni sembilan pimpinan MPR. Di periode ini adalah sepuluh pimpinan MPR RI.

Dari seluruh pimpinan MPR ini, 10 fraksi partai politik dan DPD RI punya perwakilan. Tidak ada lagi dikotomi partai besar dan partai kecil.

Kemudian selain sembilan partai politik dan kelompok DPD RI, juga terdapat tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang pengalaman dalam sistem pemerintahan.

“Kami punya dua mantan Ketua MPR, bapak Zulkifli Hasan dan Hidayat Nur Wahid. Lalu punya tiga mantan menteri, bapak Syarif Hasan, Fadel Muhammad dan Zulkifli Hasan. Kemudian ada satu ketua umum, nyaris dua kemarin, Bapak Bambang Soesatyo dan bapak Zulkifli Hasan. Kemudian ada sekjen partai dan wakil ketua umum dan komposisi itu bagi saya adalah modal dasar bagi MPR periode ini, untuk mempertanggungjawabkan jumlah pimpinan yang sepuluh itu,” papar AB.

Menurutnya, pimpinan MPR punya modal dasar yakni orang-orang yang memang bukan hanya sebagai politisi, tetapi juga sebagai negarawan. Dimana produk-produk pemikirannya dan kebijakan-kebijakan selama memimpin MPR, didasarkan pada kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok, golongan apalagi pribadi-pribadinya.

Sehingga, lanjut AB, beberapa langkah telah diambil untuk meletakkan posisi pimpinan MPR ini sebagai pimpinan lembaga, lembaga tertinggi negara. Karena fungsi dan wewenangnya memang memiliki fungsi dan wewenang tertinggi.

“Karena hanya Allah yang dapat mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar, termasuk meng-impeach presiden dan atau wakil presiden di tengah masa jabatan. DPR, DPD dan lembaga negara lainnya tidak bisa mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar atau impeach presiden dan atau wakil presiden di tengah masa jabatannya,” ulas Ahmad Basarah.

Safari Kebangsaan
Diterangkannya, pimpinan MPR berusaha menjadi prajurit kebangsaan. Oleh karena itu program pertama yang dilakukan pada awal kepemimpinan 2019 – 2024 adalah bersilaturahmi. Dimulai dari para presiden-presiden Republik Indonesia yang masih ada.

Silaturahmi pertama dengan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri. Lalu Presiden RI ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono. Kemudian Wakil Presiden Jusuf Kalla. Silaturahmi ke Kyai Ma’ruf Amin pada waktu itu sebelum dilantik. Selanjutnya ke beberapa ketua umum partai politik dan terakhir kemarin bertemu dengan dengan Majelis Ulama Indonesia dan PBNU.

“Terus akan safari kebangsaan ke Konferensi Waligereja Indonesia dan Persekutuan Gereja Indonesia dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Itu adalah upaya kami untuk menyerap aspirasi, pendapat, usulan yang berkembang di masyarakat, terkait dengan agenda strategis MPR, yang telah direkomendasikan oleh MPR,” ujar AB.

Dua periode MPR sebelumnya, telah muncul usulan amandemen UUD 1945. Saat itu MPR dipimpin Muhammad Taufik Kiemas pada 2009-2014 dan periode saat dipimpin oleh Zulkifli Hasan (2014-2019). Salah satu poin rekomendasi pentingnya adalah menghadirkan kembali haluan negara lewat amandemen terbatas Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Dalam upaya merespon usulan 2 MPR sebelum itulah, para Pimpinan MPR melakukan road show, safari ke berbagai tokoh-tokoh dan organisasi kemasyarakatan, keagamaan yang disebutkan tadi. Agendanya adalah mendiskusikan, meminta pendapat, saran tentang apa yang disebut rekomendasi MPR pada periode sebelumnya.

“Kami menyadari bahwa diskursus mengenai amandemen terbatas undang-undang dasar untuk amandemen terbatas haluan negera itu, kemudian kita sadari saat ini, diskursus itu menimbulkan pro-kontra di tengah-tengah masyarakat, ada yang setuju, ada yang tidak setuju. Ada yang setuju dengan catatan ada yang setuju dengan menambah pasal-pasal lain. Muncullah kemudian gagasan tentang masa jabatan presiden ditambah menjadi 3 periode, munculah juga gagasan tentang presiden dipilih oleh MPR dan seterusnya dan seterusnya begitu,” ulas AB.

Lanjutnya, diskursus yang berkembang di tengah masyarakat, baik yang kontra maupun yang setuju, bagi MPR adalah satu hal yang sehat dalam sebuah negara demokrasi. MPR memiliki tanggung jawab untuk terus membangun peradaban politik dan peradaban demokrasi Bangsa Indonesia, sebagai salah satu fungsi pendidikan politik yang diamanatkan oleh partai politik.

Kebetulan MPR itu terdiri dari fraksi partai politik. Hanya bapak Nono yang merupakan perwakilan daerah. Karena pemilihan calon anggota DPD adalah dengan jalur perseorangan.

“Kami dari pimpinan partai politik atau dari kader partai politik, oleh undang-undang partai politik, partai politik itu punya kewajiban untuk memberikan apa yang disebut dengan fungsi pendidikan politik. Oleh karena itu bagi kami terus mewacanakan diskursus tentang amandemen terbatas atau hal-hal yang menyangkut aspek-aspek politik kebangsaan lainnya, adalah suatu hal yang sehat dalam membangun peradaban bangsa. Daripada ruang publik konten-konten yang diisi dengan berita-berita kekerasan. Apalgi kekerasan yang mempertentangkan antara agama dan negara, mempertentangkan antara Pancasila dan agama dan lain-lainnya atau bahkan berita-berita tentang beredarnya narkoba, artis-artis yang tertangkap narkoba, berita-berita tentang korupsi. Menurut hemat kami akan lebih sehat kalau ruang publik diisi dengan diskursus-diskursus yang mengajak rakyat berpikir tentang bagaimana memperbaiki nasib dan masa depan bangsanya di masa-masa yang akan datang,” papar AB.

Memperbaiki Bangsa Lewat GBHN
Kemudian, ungkapnya, bukan hanya Bangsa Indonesia, bangsa-bangsa lain di dunia, setiap hari para pemimpin-pemimpinnya, selalu memikirkan bagaimana memperbaiki nasib bangsanya di masa yang akan datang. Karena sebuah bangsa -yang merupakan bagian dari pergaulan bangsa-bangsa di dunia- tidak mungkin lepas dari perubahan dunia yang semakin mengglobal setiap hari.

Oleh karena itu dituntut para tokoh-tokoh masyarakatnya, para elitnya, selalu memikirkan tentang bagaimana caranya memperbaiki nasib dan masa depan bangsa itu di masa akan datang.

“Saya percaya setiap masa itu ada zamannya dan setiap zaman ada masanya, dan setiap pemimpin ada zamannya, juga setiap zaman ada pemimpinnya. Hal-hal yang di masa lalu dianggap benar, bisa saja di masa kini dianggap kurang tepat. Itu dialektika kehidupan. Jangankan sebuah bangsa dan negara yang besar, seperti Bangsa Indonesia ini. Setiap individu saja, kita-kita semua ini pasti mengalami apa yang kita sebut suatu dialektika kehidupan. Hal-hal yang dulu barangkali kita anggap baik, bisa saja pada hari ini itu dianggap kurang baik,” terangnya.

Ahmad Basarah kemudian mengingatkan, di dalam konteks itu, demokrasi adalah membangun suatu peradaban. Dan peradaban demokrasi itu bukanlah sekedar urusan elektoral. Bahwa urusan demokrasi bukan pada saat pemilu saja, tapi juga satu peradaban bangsa. Dimana salah satu prasyarat demokrasi adalah kesediaan untuk saling mendengar , saling mendengar pendapat orang lain, pendapat kelompok masyarakat, pendapat golongan- golongan, pendapat fraksi-fraksi dan sebagainya dan sebagainya. Dan pendapat-pendapat itu kemudian direspon, dikelola, didiskusikan untuk dicarikan jalan keluar terbaiknya.

“Di dalam konteks itulah yang ingin saya tegaskan, terkait dengan wacana amandemen Undang Undang Dasar, pimpinan MPR RI telah bersepakat. Pertama untuk menindaklanjuti rekomendasi MPR pada periode sebelumnya. Terutama menyangkut haluan negara yang ada di dalam rekomendasi nomor 8 tahun 2019, dituangkan dalam Keputusan MPR nomor 8 tahun 2019. Intinya untuk mendalami, menindaklanjuti dan mendalami rekomendasi tentang menghadirkan kembali haluan negara atau yang populer disebut dengan Garis Garis Besar Haluan Negara, dalam payung hukum amandemen terbatas UUD 45. Artinya, dituangkan dalam payung hukum Ketetapan MPR setelah Undang Undang Dasar tentang pasal MPR itu diubah. Dalam hal ini adalah Pasal 3 UUD 45 menambah wewenang MPR untuk menetapkan haluan negara atau pendapat tiga fraksi yang ada di MPR pada periode yang lalu, yaitu Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar dan PKS , yang bersetuju pada dua opsi,” paparnya.

Opsinya adalah, haluan negara perlu , tetapi bisa dilakukan melalui amandemen terbatas. Yakni menghadirkan kembali haluan negara artinya mengubah pasal 3 UUD 45.

Dari 10 Fraksi dan satu kelompok DPD RI pada priode lalu, 8 fraksi setuju amandemen terbatas UUD 45 menghadirkan kembali haluan negara. Lalu 3 fraksi setuju, dengan cara melalui mekanisme undang-undang.

“Saya tidak ingin melihat perbedaannya di dalam konteks sikap fraksi-fraksi partai politik dan kelompok DPD RI pada periode yang lalu. Saya mencoba melihat persamaan. Persamaannya adalah seluruh fraksi partai politik dan kelompok DPD RI sama-sama merasakan perlunya hadir kembali haluan negara. Haluan pembangunan nasional, karena kita semua sama-sama merasakan bahwa sistem ketatanegaraan kita, terutama menyangkut aspek perencanaan pembangunan nasional, pasca dihapusnya wewenang MPR untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara,” ujarnya.

Selain itu, masih menurut Ahmad Basarah, pada amandemen UUD 45 pada tahun 1999-2002 lalu, dimana kemudian rezim haluan negara ketetapan MPR diganti oleh rezim UU nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

“Kami anggap tidak cukup baik untuk memastikan kesinambungan pembangunan nasional Bangsa Indonesia. Mengapa demikian? Karena Undang Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pengganti ketetapan MPR yang menjadi payung hukum GBHN itu, dia hanya bersifat eksekutif sentris, yaitu memberikan guidance (bimbingan) kepada pemerintah dalam pembangunan nasional Bangsa Indonesia,” katanya.

“Padahal tujuan pembangunan nasional Bangsa Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi setidak-tidaknya lembaga-lembaga yang berwenang yang bersifat konstitusional body atau wewenang yang diberikan oleh UUD 45 adalah DPR, DPD, MPR, BPK, MK kemudian KY dan lain sebagainya, sama-sama punya tanggung jawab untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia,” ulas Ahmad Basarah.(dani/yos)