Krisis Buah dan Sayuran Melanda Inggris

Jakarta – Krisis buah dan sayuran melanda Inggris. Saat ini, bahan sayuran di supermarket negara itu, termasuk mentimun, paprika, dan tomat, mengalami kekurangan pasokan. Tomat khususnya sangat terpengaruh karena meningkatnya biaya penggunaan efek rumah kaca.

Melansir Daily Mail, Senin, (28/11/2022) industri sayuran Inggris terancam karena kekurangan tenaga petani dan biaya produksi yang mahal. Hal ini menyebabkan pihaknya harus mengimpor bahan dari luar negeri.

baca lagi : Sajian Spesial Khas Jawa Barat Hasi Kolaborasi Chef Devina dan Bumi Aki Heritage

Lea Valley, yang sering dijuluki ibu kota mentimun di Inggris, memperkirakan penurunan angka produksi hingga setengah kuota pada tahun depan, menurut perwakilan Asosiasi Petani Lea Valley, Lee Stiles. 40 orang dari 80 anggota petani memilih tidak menanam sayuran karena mengantisipasi kerugian finansial. Sementara yang lain meninggalkan bisnis sepenuhnya.

“Mendukung petani Inggris dengan membayar harga yang wajar tampaknya tidak jadi prioritas supermarket saat ini,” ujarnya.

Lebih lanjut ia mengungkap, jumlah produk segar di Inggris telah berkurang hingga setengah kuota pada tahun lalu, tapi konsumen tidak menyadari atau tidak peduli. “Kami mengambil semua risiko dan (menjual produk tani) dengan harga yang sangat rendah. Kalau harga tidak naik, pasti industri mentimun Inggris tidak akan bertahan,” ujarnya.

Bahan baku produksi di sektor tani adalah salah satu pendorong utama kenaikan biaya. Itu tercatat naik 165 persen, diikuti pupuk yang naik 40 persen, dan biaya tenaga kerja naik 13 persen.

Kurang Tenaga Kerja

Pada awal bulan ini, Promar International, sebuah konsultan pertanian, mencatat biaya produksi produk tani di Indonesia telah melonjak 27 persen dari tahun lalu. Di antaranya adalah tomat, apel, brokoli, dan umbi-umbian.

Menurut Martin Emmet, petani dari National Farmers Union menyebutkan bahwa saat ini, produksi buah dan sayuran berada di bawah tekanan terbesar. Menurutnya, hal ini disebabkan kurangnya tenaga kerja, baik secara permanen atau musiman. Disebutkan pula bahwa demi menghasilkan produk tani, para petani di Inggris sudah melakukan segala cara yang mereka bisa.

Emmet melanjutkan, jika tekanan terhadap produksi buah dan sayuran berlanjut, beberapa bisnis tidak akan dapat bertahan. Stabilitas dan kepercayaan diri dalam bisnis merupakan unsur penting untuk menghadapi masa-masa sulit yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ia juga menyebut, pemerintah Inggris perlu mencabut batasan skema pekerja musiman. Juga, meningkatkan jumlah visa yang tersedia untuk melindungi masa depan buah dan sayuran Inggris.

Telur Juga Terdampak

Selain sayur dan buah-buahan, Serikat Petani Nasional juga telah memperingatkan bahwa kekurangan telur di rak-rak supermarket dapat berlangsung hingga musim panas mendatang, kecuali masalah rantai pasokan diselesaikan. Situasi ini tentu menyebabkan kerugian bagi para petani dan pengusaha retail.

Mick Thompson, pemiliki peternakan ayam, mengatakan pada Daily Mail bahwa ia menyingkirkan delapan ribu ekor ayam dari peternakannya di Devon Utara. Sementara, beberapa toko telah memperkenalkan penjatahan, salah satunya Sainsbury yang telah mulai mengimpor telur dari Italia. Beberapa outlet dilaporkan mencari produk telur dari Polandia dan Spanyol.

Robert Gooch, Ketua British Free Range Egg Producers Association (BFREPA), mengatakan, pihaknya telah memperingatkan sektor ritel delapan bulan lalu bahwa krisis ini akan terjadi. Juga, setidaknya satu supermarket harus mendatangkan telur dari Italia.

“Kami memperingatkan pada Maret (2022) bahwa pasokan telur berpotensi kurang menjelang Natal. Ini harus jadi peringatan bagi rantai pasokan. Kami melihat para petani membayar harga yang berkelanjutan untuk mengembalikan kepercayaan dan optimisme ke sektor ini,” tuturnya.

Pun dengan Pupuk

Pupuk juga tercatat mengalami kenaikan harga sebagai dampak perang Rusia-Ukraina. Analisis Unit Intelijen Energi dan Perubahan Iklim (ECIU) menunjukkan tagihan pupuk naik sekitar 760 juta pound sterling (sekitar Rp14,5 triliun) untuk petani Inggris tahun ini. Lalu, selama dua tahun ke depan, peternakan harus mengeluarkan biaya tambahan 1,1 miliar pound sterling (sekitar Rp2 triliun) untuk efek rumah kaca.

Nick Humphries, direktur perusahaan pupuk rendah karbon N2 Applied di Inggris, mengatakan bahwa pemerintah negara itu seharusnya bekerja sama dengan industri untuk mengeksplorasi cara beralih dari pupuk bahan bakar fosil.

“Harga pupuk kimia yang setinggi langit tahun ini adalah titik kritis yang telah menunjukkan pada kita bahwa ini tidak bisa jadi masa depan produksi pangan Inggris,” katanya.

Menurut Humphries, Inggris tidak bisa bergantung pada pupuk kimia yang diproduksi di beberapa negara lain. Sebaliknya, negara monarki tersebut harus menemukan alternatif publik yang dapat dikontrol lebih besar oleh petani sesegera mungkin.