Bawaslu RI Keluarkan Surat Delegasi Setengah-setengah

Bawaslu Republik Indonesia (RI) mengambil langkah setengah-setengah untuk mengamankan Bawaslu Kabupaten/Kota terhadap ancaman pasal korupsi. Ancaman pasal korupsi ini bisa serius karena Bawaslu Kabupaten/Kota bukan lembaga pengawas yang sesuai UU Pemilukada 1/2015 maupun 10/2016.

Bentuk pengamanan itu adalah surat delegasi. Bawaslu RI hanya mendelegasikan kewenangan menerima (menandatangani) perjanjian hibah alias pencairan dana dari Pemda setempat. Bawaslu RI tidak mengamankan Bawaslu Kabupaten/Kota terkait pembelanjaan dana hibah.

Related Post:

50 Pesawat Boeing 737 NG Retak

Surat pendelegasian itu juga tidak otomatis menjadi payung hukum Bawaslu Kabupaten/Kota untuk melaksanakan tugas-tugas pengawasan pelaksanaan Pemilukada 2020 mendatang.

Surat tertanggal 3 September 2019 itu dengan perihal Penegasan Pendelegasian Panandatanganan Perjanjian Hibah Langsung. Surat berkop Bawaslu RI dan lambang Garuda ini ditujukan kepada Ketua Bawaslu Provinsi dan Ketua Bawaslu Kabupaten/Kota.

Pernyataan pendelegasian ada di lembar kedua dari dua lembar surat bernomor 0514.A/K.Bawaslu/KU.01.00/IX/2019 itu.

Dalam pernyataan di angka romawi II ditegaskan bahwa pejabat yang diberi kuasa/pendelegasian untuk menandatangani perjanjian hibah langsung sebagaimana Permenkeu 99/PMK.05/2017 adalah Ketua Bawaslu Provinsi untuk Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur.

Related Post:

Akselerasi Jaringan Internasional, Citilink Buka Rute Denpasar Menuju Perth

Sedangkan Bawaslu Kabupaten/Kota diberikan pendelegasian untuk perjanjian hibah langsung bagi Pemilukada Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Dalam angka romawi II ini, sama sekali tak disebutkan tentang pendelegasian pembelanjaan dari dana hibah yang diterima.

Dikonfirmasi terkait tidak adanya klausul pendelegasian pembelanjaan dari dana hibah, komisioner Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar belum memberikan responnya.

Anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja juga memilih diam ketika diminta statemennya tentang tidak adanya klausul delegasi pembelanjaan.

Sementara itu, terkait judicial review UU 1/2015 ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan Bawaslu tiga kabupaten, telah memasuki sidang keempat. Sidang selanjutnya digelar pada 12 November 2019. Rencananya dalam sidang berikutnya yang hadir adalah utusan dari DPR RI.

Seperti diketahui, pengamat politik dan juga advokat Dr Refly Harun menegaskan bahwa Bawaslu Kabupaten/Kota se-Indonesia tidak punya kepastian hukum untuk menjadi pengawas dalam Pemilukada 2020 nanti. Bila sebuah lembaga tidak punya kepastian hukum, rawan diperkarakan secara pidana, perdata atau tata usaha negara.

Read More:

Badak Sumatera Milik Malaysia Mati Kena Kanker

Pelaksanaan Pemilukada 2020 nanti menggunakan payung hukum UU Pemilukada 10/2016 dan UU Pemilukada 1/2015. Bukan lagi menggunakan acuan UU 7/2017 tentang Pemilu.

Bahkan, Ketentuan Peralihan dalam UU Pemilu 7/2017, khususnya pasal 563 ayat (2) juga telah melarang perpanjangan anggota lembaga bernama Panwaslu Kabupaten/Kota. Sehingga bisa dikatakan Panwaslu Kabupaten/Kota telah terhapus.

”Ketidakpastian hukum ini juga karena MK (Mahkamah Konstitusi) yang pernah memutuskan pemilukada bukan pemilu,” ungkap ahli hukum tata negara ini kepada nusadaily.com, Jumat (1/11/2019).